Seru. Seru. Hanya itu yang terlintas dalam pikiran saya, ketika menyaksikan Pembukaan Event Jelajah Pesona Jalur Rempah (JPJR) Beltim 2022, di dilapangan Yagor, Desa Mekar Jaya, Manggar, Sabtu malam ( 3/9). Kolaborasi tradisional dan modern ditampilkan dalam satu rangkaian acara, menjadikan ceremony itu sangat menarik dan menghibur.
Ditutup dengan pesta kembang api yang dilanjutkan kesinambungan lagu dalam balutan music remix, dengan volume yang luar biasa, sorotan lampu warna warni, itu puncaknya. Kreatifitas itu sedikit mengandung resiko, apalagi event JPJR tersebut berbasis sejarah, dikhawatirkan essensinya akan keluar. Tapi elastisitas dan ketidak kakuan, telah hadir dengan terobosan ide. Ternyata event tersebut mampu menciptakan warna lain. Warna yang disenangi banyak orang, terutama kaum muda.
Terlebih kalau dicermati lagi, sepertinya ada 2 poin penting JPJR kali ini. Pertama, seakan punya pesan tersirat yang ingin disampaikan. Apa itu? Kita boleh mengikuti perkembangan jaman, namun kearifan lokal tetap dipertahankan. Kedua, apakah mudah memperkenalkan budaya kepada generasi milineal, apalagi untuk diajak mewariskan dan melibatkan mereka. Sangat tidak mudah! Akan diterima bila itu terasa kena di benak dan pikiran mereka. Sehingga, memang dibutuhkan terobosan untuk menarik minat remaja sekarang. Bisa jadi penampilan DJ adalah sebuah gagasan baru.
Umumnya pembukaan dan penutupan event-event wisata yang digelar kental aroma seni tradisional. Bahkan dari awal acara hingga akhir. Seperti Sabtu malam (3/9) yang terjadi di Yagor. Saya yang tidak tahu rundown acaranya, akan berpikir seperti yang sudah-sudah. Akan berpikir usai kembang api, selesai. Pesta bubar. Namun tatkala seorang DJ (Disk Jockey) muncul ke atas panggung, saya seketika berpikir, ini pasti seru.
Musik itu menghentak, membangkitkan semangat pengunjung, yang mulai terlihat bosan. Acara pembukaan yang formal, dengan sederetan kata sambutan dari para pejabat, tarian seni tradisional yang ditampilkan, hanya cukup jadi tontonan, tapi tak bisa diikuti. Pengunjung hanya benar-benar sebagai penonton, menikmatinya dalam diam dari tempatnya masing-masing. Yang selama acara, mereka cukup tertib, menatap ke megahnya panggung JPJR.
Ada yang duduk dibawah, beralaskan sendal, ada yang berdiri dari balik pagar. Dan yang duduk dibangku undangan jauh lebih tertib. Satu demi satu menyaksikan acara yang disuguhkan. Mulai dari pembacaan doa, tarian selamat datang, beberapa kata sambutan, berikutnya pembukaan event secara resmi yang ditandai dengan petikan gambus, lalu penyerahan miniatur gambus.
Setelah itu, memperkenalkan maskot JPJR bernama Rere (rempah-rempah), kemudian memperkenalkan jingle JPJR ‘’ Belitung Timur Negeri Puale’’ dengan synopsis dan pencipta lagunya. Dilanjutkan dengan pemutaran video JPJR serta penampilan festival gambus nusantara.
Hampir keseluruan acara Pembukaan diisi dengan seni tradisional. Inilah sebabnya kenapa diawal, saya berpendapat essensi JPJR event berbasis sejarah itu tak hilang, hanya dengan penampilan seorang DJ dengan music cepatnya itu di penghujung acara.
Justru music DJ itu, mengajak seluruh hadirin malam itu larut dalam kebersamaan tanpa batasan. Pengunjung yang semula segan untuk maju ke tengah lapangan, akhirnya tak kuasa menahan diri untuk tak bergoyang. Para undangan bangkit dari kursinya, anak muda yang menjauh jadi mendekat, para pengisi acara yang semula dikagumi, ikutan berbaur.
Didepan panggung, ratusan orang berjingkrak, wajah-wajah ceria bersorak sorai, dibawah warna-warni lampu sorot. Sesekali teriakan sang DJ membakar semangat pengunjung yang bergoyang, juga sesekali nama event JPJR disebutkan.
Dentuman music itu, juga membuat semua yang hadir di Yagor, minimal menggoyangkan kepalanya, mengikuti ritme music. Mereka yang malu-malu, seperti penjaga stand dan pengunjung stand, hanya goyang ditempat. Yang ingin pulang, tak jadi pulang. Tahun ini JPJR hadir penuh warna.
Penulis: Yusnani