Bertempat di Pendopo, Tanjung Kelayang, Jumat (9/9) digelar acara bertajuk From Bangka Belitung To The World. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari event G 20. Dalam acara tersebut, ditampilkan 2 tarian kolosal yakni tari Pendulang Timah dan tari JPJR Beltim. Tarian itu diadakan di halaman Pendopo, para delegasi, para pejabat daerah ini, serta undangan lainnya, dan masyarakat menonton dari pinggir lapangan. Ditangga lapangan itu, dengan santai, tamu delegasi dari berbagai negara, duduk menonton.
Dalam tari pendulang timah, terdapat 36 penari, terdiri dari remaja putra putri. Remaja putra bertelanjang dada, dengan celana selutut, sedangkan remaja putri berkaos hitam dan celana hitam. Gerakan pada tarian ini menggambarkan betapa kerasnya mencari timah, secara tradisional. Hanya menggunakan kuali, mereka ngelimbang, bermaksud memisahkan timah dari material lainnya.
Wajah-wajah yang berantakan, dan kulit-kulit yang gelap, menandakan kalau mendulang timah itu pekerjaan yang berat, membutuhkan stamina. Bermandikan lumpur, berjemur dibawah teriknya matahari, belum lagi keadaan lainnya, yang kadang berisiko.
Walaupun penuh dengan kesulitan, tapi demi mencari nafkah itu tetap dilakukan. Kenyataan mencari timah secara tradisional ini, yang coba dirangkum dan diterjemahkan ke dalam tarian yang berbicara tentang dinamika hidup masyarakat di Pulau penghasil timah, Belitong.
Sedangkan untuk tarian JPJR ( Jelajah Pesona Jalur Rempah) di sampaikan Zulfiandi, selaku Koordinator Tim,’’ Tari Kolosal ini menceritakan, bagaimana posisi penting gambus Belitung Timur di Nusantara dan Dunia. Tadi, dari irama musiknya menitik beratkan bahwa gambus ini merupakan alat kesenian, yang benar-benar sudah mengalami alkuturasi,’’ jelasnya.
Tarian ini ujar Zul baru diproduksi sejak awal 2022, untuk ditampilkan pada event Jelajah Pesona Jalur Rempah itu sendiri. Dan kebetulan, event JPJR Beltim berdekatan dengan 20,’’ Jadi, sekalian kita tampilkan disini,’’ ungkap Zul.
Sedikitnya, 25 remaja putri ambil bagian dalam tarian kolosal JPJR. Sepuluh orang sebagai penari utama, sedangkan sisanya sebagai penari pendukung dengan membawa bendera umbul-umbul berwarna warni. Warna warni ini seolah menyiratkan, keberagaman masyarakat Beltim.
Untuk music sebaai pengiring para penari, selain dominan petikan gambus, juga didukung dengan arcordian, suara seruling, serta tambuhan rebana dan gendang. Sehingga kentara sekali kentalnya aroma melayu yang merupakan mayoritas penduduk pulau ini.
Hasilnya, berdasarkan pantauan di lapangan, terlihat selama pertunjukkan tari, para delegasi menikmati sajian itu, mereka terpukau dan terpesona. Ini tampak jelas dari sorot mata mereka yang menatap ke tengah lapangan, tatkala tarian itu tengah berlangsung. Aplaus-pun mereka berikan, ketika tarian usai. Upaya Pemda Beltim, untuk memperkenalkan seni budayanya kepada delegasi, sepertinya berhasil. (Yusnani)