TANJUNG PANDAN, BELITONGBETUAH. com – Jumat pagi (16/9) Anggota DPRD Provinsi Bangka Belitung, mengadakan Rapat Kerja terkait harga TBS Kelapa Sawit, yang dihadiri oleh sejumlah perwakilan perusahaan sawit di Pulau Belitong, bertempat di Wisma Bougenville, Tanjung pandan.
Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi II DPRD Babel, Agung Setiawan, yang didampingi Hellyana, Eka Budhiarta dan Nata Sumitra. Bila Pak Agung, selaku Pimpinan Rapat terlihat tenang, tidak demikian halnya dengan Eka Budhiarta. Legislator dari PBB itu, cukup vocal dan serius. Bahkan, salah seorang perwakilan perusahaan sawit yang tampak cengengesan, ketika dirinya sedang memaparkan pendapatnya, ia bentak,’’ Mengapa Anda tertawa, apa yang lucu. Saya ini anggota dewan,’’ katanya.
Eka wajar bersikap seperti itu, sebab yang ia perjuangkan nasib para petani sawit. Yang oleh perusahaan sawit itu telah dirugikan atas kebijakan dan aturan yang mereka buat sendiri. Ditemui usai Rapat Kerja tersebut, Eka menjelaskan keberadaan dan aturan dari perusahaan sawit yang merugikan petani dan pemerintah daerah.
Terutama masalah grading. “ Itukan emang ade selisih. Grading itu 8-12 % mereka ambik. Arti ya barang itu, TBS e diproses, menjadi hak milik mereka. Petani kan punye hak juak untuk menuntut balik. Dengan catatan kalau emang grading, balikkan buahnye. Ini kan dak, grading- e 8%, buahnye diambik. Mestinya kalau grading, oh ini sekian persen 100 kilo. Dibalikkan, karena ini hak petani, bukan hak perusahaan. Ini diambik dan diproses, ini yang kita permasalakan,” ungkapnya.
‘’ Petani berhak menuntut balik, mane yang 8% tadi. Toh mikak proses, mikak jual. Endak jak dibuang barang itu, jadi duit juak. Malah grading gede, terus grading e diambik, harga murah. Sementara harga minimal untuk bulan inikan itu Rp 1. 720, umur 3 tahun itu,’’ tambahnya, tentang harga TBS sawit mitra.
Selanjutnya ia jelaskan, sawit masyarakat itu termasuk salah satu unsur harga pokok produksi. Unsur harga pokok produksi itu ada 2, yakni kebun sendiri dan kebun masyarakat. Artinya itu, merupakan komponen, yang sawit masyarakat yang katanya Non Mitra. Itu tetap menjadi harga pokok produksi.
‘’Mun dak, keluarkan harge itu, cukup harga pokok perusahaan. Ini yang dak matcing. Padahal harga petani dengan harga kebun itu disatukan, menjadi harga pokok produksi. Jadi banyak rancunya,’’ ujar Eka lagi.
Karena itulah ia meminta, kepada PT Parit Sembada segera evaluasi, untuk harga dan grading. ‘’Harga minimal, kalau umur 3 tahun Rp 1.720. Sebab sulit membedakan antara buah sawit dari mitra dan dari plasma. Buahnya tetap diproses. Kan dalam itu, dak de judul e CPO Plasma atau CPO mitra. Tetap CPO judul e,’’ tukasnya.
Kemudian terkait aturan yang tidak mengembalikan grading itu dari mana? ‘’ Itu aturan merekalah, termasuk jumlah grading tadi. Itu aturan perusahaan,’’ jelasnya. Berarti tidak ada keterbukaan, tanya BB lagi. “ Makanya, kita minta Dinas Pertanian Kabupaten maupun Provinsi untuk mengawasi proses grading. Benar ke prosedurnya. Bayangkan kalau sehari 10 ton, kali Rp 1000 berape duit e. Mestinya itu hak petani,’’ bebernya.
Eka juga menjelaskan bila dulu, gradingnya tidak besar, hanya sekitar 2 atau 3%, kalau sekarang grading-nya besar. Lalu ia membandingkan, ‘’ Ngape perusahaan di Bangka grading-nye dapat 3 %, disinek dak dapat. Ape bedanye, PKS di Bangka dengan PKS disinek. Buahnye same. Kebun e same. Minyak e same. Ini kan Parit Sembada neh aneh. Membuat aturan sendiri, tapi merugikan Petani,’’ tandasnya.
Selain ia juga menyinggung masalah pajak dari perusahaan sawit. ‘’ Kalau kita bicara pajak, dak de pajak untuk pemerintahan Provinsi dan Kabupaten. Gak sikok, pajak air terbuka. Tapi Jalan kite habis. Mereka dak de nulong, muat jalan bermiliar-miliar. Jalan dari Buluh Tumbang sampai Kampit, mikak pakai untuk sawit,’’ tuturnya.
Sehingga ia menilai, apa untungnya investasi ini. Sudahlah pemerintah daerah tidak dapat pajak, jalan habis, ini petani sawit malah dirugikan. ‘’ Padahal, tujuan inventasikan untuk masyarakat. untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar,’’ katanya.
Jadi daerah dapat apa, bila mereka tidak mau membantu petani? ‘’ Nah itu dia. Upah tenaga kerje dak maksimal. Ditambah harge sawit petani murah. Jalan kite habis, pajak daerah dak de. Dapat ape cube,’’ pungkas Eka. (Yusnani)