TANJUNG PANDAN, BELITONGBETUAH. com – Ada 4 pasar di wilayah Tanjung pandan, Pasar Induk, Pasar Berehun, Pasar Hatta. Ketiga pasar ini, aktifitasnya Cuma dari pagi hingga siang. Dan ke-4 Pasar Baro, ramainya hanya pada sore hari. Pasar Hatta, hanya sebuah jalan, yang panjangnya kira-kira 200 meter lebih. Pedagang berjualan pada sisi kiri dan kanan, jalan tersebut. Di papan plang jalan itu memang tertera bernama Jl. Anwar, tapi masyarakat lebih akrab dengan nama Jl. Hayati Mahim.
Sampai sekarang, saya tidak tahu sejak kapan areal itu disebut pasar, dan siapa orang pertama yang menyebutnya dengan istilah pasar. Yang saya tahu, nama Pasar Hatta diambil dari nama seorang kakek berusia 73 tahun, yang bernama Hatta. Pak Hatta sebetulnya, orang kedua yang berjualan di Kawasan itu, orang pertama bernama Kik Deng. Tapi Pak Hatta orang pertama yang berjualan ikan, bumbu, sayuran dan kelapa parut. Kala itu, Kik Deng berjualan kue.
Anak Pak Hatta 5 orang, Zuraidah, Rosana, Yanto, May Inah dan Fiafik Rahman. Dua orang anak Pak Hatta, menjadi sarjana dan kini sebagai Pegawai Pemerintahan. Sedangkan 3 orang lainnya, berjualan di Pasar, masing-masing punya toko sendiri, yang letaknnya di depan rumah orang tuanya.
Rosana, anak kedua Pak Hatta adalah teman sekolah dari SMP, hingga SMA dan sampai sekarang. Saya memanggilnya Kak Ros. Saya pernah kelakar dengan kak Ros,’’ Tahu kah, siapa orang terkaya di Belitung’’? Kak Ros-pun menyebutkan nama-nama pengusaha top disini. ‘’ Bukan. Yang kaya itu Pak Hatta. Sebab, hanya Pak Hatta satu-satunya orang Belitung yang punya pasar’’. Tentu Kak Ros paham yang saya maksud bukan kaya materi, dengan harta melimpah. Tapi, kehidupan Pak Hatta juga diusia tuanya terbilang lumayan sukses.
Nama Pak Hatta juga saban hari dibicarakan orang. ‘’ Aku meli kepala ketarap di Pasar Hatta’’, atau ‘’ Kemarik, aku la udah meli tungkol gede, jadi sari neh dak ke Pasar Hatta’’. Atau, ‘’ Kini mun nak Kepasar Hatta, nyebut ye. Aku nak nitip sayor’’, atau,’’ Gila Lup, tulong umak meli kelapa parut di Pasar Hatta’’. Pembicaraan-pembicaraan ini terjadi diantara ibu-ibu.
Nama Pak Hatta juga selalu jadi harapan banyak orang. ‘’ Mudah-mudahanlah, hari ini Pasar Hatta dak ujan’’, atau ‘’ Semoga jajak aku di Pasar Hatta habis’’. Atau, ‘’ Aku nak nyari ikan, tapi hari la siang. Mudah-mudahan gik ade ade ikan di Pasar Hatta’’ dan lain-lainnya.
Dan, nama Pak Hatta juga disebut-sebut sebagai tempat gosip. ‘’ Kate urang Pasar Hatta, ibu pejabat itu mun mayar parkir rajin merengut’’, atau ‘’ Aku rajin ketemu kan belau itu, mun belanje di Pasar Hatta gawe nawar nak murah’’. Atau, ‘’ Urang-urang nok belanje di Pasar Hatta nyebut die toh, ade simpanan’’ dan sebagainya.
Cuma sayangnya, Pak Hatta bukan orang politik. Seandainya Beliau mencalonkan diri jadi caleg, promonya lebih gampang. Mungkin slogannya begini’’ Ingat Pasar Hatta, Ingat Saya! Coblos nomor 5’’. Pada baris kedua, baliho atau spanduk bertuliskan’’ Terbukti telah memberdayakan puluhan UMKM dan Pedagang Kecil, di depan jalan rumah saya’’. Itu, Cuma misalnya!
Jualan Mulai Tahun 1973
Pak Hatta asli dari Aik Ngarun, Desa Lassar, bersama istrinya Haiti Chalidah ( 70 thn) , yang berasal dari Desa Gunong Riting, keduanya sama-sama berasal dari Kec. Membalong. Mereka pindah ke kediamannya sekarang tahun 1972. Sebelum pindah ke pasar itu, Kakek 11 orang cucu itu, sempat tinggal sebentar di dekat Kantor Camat, Tanjung pandan sekarang.
Naasnya, rumah yang Beliau bangun kala itu, terbakar. ‘’ Waktu itu kejadian malam. Aku kan nak ngisi bensin mutor, base nak ke laut. Kawan ngidup ek lampu ( lampu petromak), jadi api e nyambar. Untong siang e, anak bini aku beranjuk ke Gunong Riting. Rumah waktu itu, dinding papan, api cepat nyambar e, abis rumah,’’ kenang Pak Hatta, saat BB kerumahnya, Kamis siang ( 29/9).
‘’ Kebenaran, siang e kamek la ke Gunong Riting. Waktu itu aku agik hamil 6 bulan, hamil Yanto. Zurai kan Rosana, aku bawa. Rosana gik kecik benar. Karena rumah la tebakar, kamek ngontrak di dekat SD 17 situ,’’ sambung sang istri, Haiti Chalidah.
Pak Hatta tak mengira, kalau Pasar Hatta akan seperti sekarang ini. Tahun 1972 itu ungkapnya, Kik Deng yang berjualan pertama kali di jalan itu. Kik Deng jualan kue. Ia jualan ikan keliling, mangkalnya di tempat Kik Deng. “ Mutor aku, sengaje knalpotnye aku buka, jadi bagas bunyi e. Kini mun aku di tempat Kik Deng, itu ibu-ibu la tahu kan bunyi mutor aku. Mereka datang, mun kire-kire dak de agik urang nak meli ikan, aku keliling,’’ terang ayah 5 orang anak itu.
Selanjutnya tahun 1973, ia membuka kios kecil depan rumahnya yang sekarang. Yang jaga istrinya, ia sendiri tetap menjajakan ikan keliling. Cuma karena sudah punya kios sendiri, ia tak lagi mangkal ditempat Kik Deng.
‘’ Jadi, bini aku nok bejualan. Kamek bejual bumbu, sayor, kelapa parut. Ninek jak pakai ketangin burok belanje di pasar jaoh ( Pasar Induk). Aku juak ngambik ikan dari pelelangan di pasar. Tapi ikan yang aku ambik dari pelelangan, aku dak ngambik ujong. Tapi, aku ngambik ujong dari ikan yang aku ngambik dari Dudat. Karena itulah ikan ditempat aku hargenye murah. Ini politik dagang aku, biar urang ramai belanje,’’ ujar Pak Hatta lagi, mengisahkan strategi bisnisnya.
Dia mengaku, pertama kali jual kelapa parut, mesinnya ia sewa dari temannya yang ada di Pulau Seliu. Setelah 2 tahun menyewa mesin parut, akhirnya ia punya sendiri. ‘’ Jadi, kamek memang dak bemudal awal e. Cuma mudal kepercayaan aja,’’ katanya.
Kemudian, beberapa tahun sejak ia berjualan, mulai ada orang buka kios. Dan, Pak Hatta merasa senang. Sebab, menurutnya makin banyak yang jualan, maka akan semakin banyak pembeli yang datang. Puncak ramainya itu tahun 2019.
Diterangkan Pak Hatta, orang yang sekarang berjualan di pasar tersebut, menyewa lahan dengan pemiliknya. Kini dari ujung jalan sampai ujungnya lagi, tiap sisi kiri dan kanan telah dipenuhi para penjual. Dagangan yang ditawarkan di Pasar Hatta juga beragam.
Sekarang, Pak Hatta tak lagi berjual ikan dan bumbu seperti dulu. Ia konsen dengan usaha kelapa parutnya. Setiap hari, ratusan kelapa terjual di tempatnya. Kelapa-kelapa itu didatangkan dari langganannya yang tersebar di seluruh Belitung. Mesin parut Pak Hatta juga bertambah, selain itu juga ada mesin peras santan. Ia dibantu oleh 4 orang karyawan.
Tahun 2019, Pak Hatta dan istrinya, berangkat ke Tanah Suci, menunaikan ibadah haji. Diusia tuanya, beliau masih tetap produktif, sebagai juragan kelapa parut, dipasar yang namanya diambil dari nama dirinya, yakni Pasar Hatta. (Yusnani)