Ketua DPRD Belitung, Ansori, Bentuk Pansus Secepatnya, Mengenai Simpang Siurnya, HGU Foresta

oleh -

Belitung, belitongbetuah.com– Senin sore (5/12) RDP (Rapat Dengar Pendapat) antara Kepala Desa di Kecamatan Membalong dengan perkebunan sawit PT. Foresta Lestari Dwikarya, berlangsung di ruang Bamus DPRD Belitung. Pertemuan yang dipimpin Ketua DPRD Belitung, Ansori sangat seru dan sengit. Masalahnya, diawal sempat ada kesimpangan siuran data dan informasi, antara satu pihak dengan pihak lainnya. Audiensi itu, seperti membuka tabir mengenai informasi baru kepada publik.

Yang dimana, informasi tersebut kalau tak diurai, akan membingungkan saat menuntaskannya. Namun, Ansori sebagai Pemimpin Rapat cukup jeli dan cermat. Ia merangkum dan merunut satu persatu persoalan yang disampaikan Ardi Yusuf Kades Simpang Rusa, sekaligus perwakilan dari para Kades yang hadir, sehingga mudah ditelaah. Alhasil, didapatkan 5 poin penting yang jadi persoalan dan menjadi keingintahuan serta tuntutan masyarakat. Satu persatu poin dibahas, agar detilnya bisa ditelusuri.

Ke lima poin itu adalah Pertama mengenai berapa luas lahan yang didapat PT. Foresta. Kedua, kapan HGU tersebut berakhir. Ketiga program plasma. Ke empat mengenai Permentan 18/2021 terhadap fasilitas perkebunan masyarakat disekitar perkebunan dan ke lima mengenai CSR.

Selain dihadiri Kepala Desa Simpang Rusa, Cerucuk, Lasar, Perepat dan Kepala Desa Kembiri, dari pihak Foresta diwakili Sugeng selaku Manager Pekebunan. Kemudian, hadir pula Kepala BPN Belitung Agustinus W. Sahetapy, Destika Efenly Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, Staf Ahli Bidang Hukum dan Pemerintahan Setda Belitung, Mirang Uganda serta Ketua Lembaga Adat Melayu Belitung, Andi Ajin.

Untuk menjawab poin 1, kita perlu menyimak apa yang dikemukakan dari Ardi Yusuf , Kepala Desa Simpang Rusa. Ia menuturkan, sebelum menjabat Kades Simpang Rusa sekarang, dulunya ia juga penah menjadi Kades di wilayah itu, dan dilantik pada April 1993. “ Beberapa bulan kemudian, muncullah izin yang dikeluarkan dari Gubernur Sumatera Selatan (Babel masih masuk dalam Sumsel) pada saat itu yaitu izin prinsip Gubernur Sumatera Selatan memberikan kepada PT Foresta dengan jumlah luas lahan 17.000 hektar di Kec. Membalong. Kami dapat perintah, Bupati, Camat dan Dinas Instansi tekait, Kepala Desa wajib mengamankan SK Prinsip Gubernur,’’ ungkapnya.

Singkat cerita, dari 1993, sampai saat ini setelah 29 tahun terang Ardi, dan kami hadir di sini (DPRD) bukan atas nama pribadi, kami adalah wakil dan menyampaikan aspirasi masyarakat. ‘’ Perlu diketahui kami, sesuai surat yang kami sampaikan ke sini, sampai detik ini, tidak mengetahui secara pasti berapa luas lahan yang dikelola PT Foresta di desa kami. Dan, kedua kami tidak mengetahui berapa luas HGU dan kapan berakhirnya HGU mereka,’’ tukas Ardi.

Guna menjawab itu, Ansori langsung mempersilahkan Kepala BPN Belitung, yang diketahui khusus untuk Foresta ada 3 persil. Luasnya, ada yang 1000, 4000 dan 5000 hektar, jadi ada 10 ribu hektar. ‘’ Kemudian bapak-bapak tanya, kapan berakhirnya (HGU),’’ katanya, dan langsung dijawab iya dari dewan. lalu, ia katakan yang tercatat di data mereka sertifikat dengan luas 1000 hektar, berakhir tahun 2043, terus yang luas 4000 hektar habisnya tahun 2036, dan luasan 5000 hektar baru habis tahun 2040.

Dari statment ini, memunculkan lanjutan ke persoalan lain. Apa itu? Pertama semua hadirin yang berada dalam Ruang Bamus itu mengira, kalau mulai pengelolaannya tahun 1993, misalnya yang 1000 hektar, dan berakhir tahun 2043. Lantas, berapa lama HGU tersebut masa berlakunya.

Yang akhirnya diketahui, kalau HGU itu menurut data di BPN baru ada tahun 2005. Sayangnya, dalam RDP tersebut, tidak terungkap mengenai 2 HGU lainnya, sebab tidak dijelaskan pihak BPN sendiri. Selain itu, tampaknya para anggota dewan luput bertanya. Sehingga, luasan 4000 hektar yang berakhir tahun 2036, dan luasan 5000 hektar yang habis pada 2040, masing-masing tahun berapa HGU-nya muncul di BPN, tidak ada info. Soalnya, mengingat habis masa berlakunya berbeda, diantara 3 HGU milik Foresta.

Padahal ini sangat penting, dan menjadi catatan kedua! Mengapa? Karena ini berkaitan dengan poin ke-3 yaitu plasma. Dapat disimpulkan, bila hadirin yang ada dalam RDP tersebut, pikirannya terfokus pada tahun 1993, dan seakan sepakat berpikir kalau HGU-nya juga tahun 1993. Barulah setelah Mirang Uganda, memperjelas tahun berakhirnya HGU yang luasan 1000 hektar dan habis tahun 2043, seakan tersadar kalau sebenarnya HGU yang tercatat di BPN bukan dikeluarkan tahun 1993. Bila mengira HGU itu keluar tahun 1993, misalnya dengan masa berlaku HGU 30 tahun, maka tahun depan, 2023 sudah habis. Kalau sudah habis tentu mereka akan melakukan perpanjangan. Dan, jika ada perpanjangan, tentu menurut Permentan 98/2013, diwajibkan Plasma 20%.

Lalu, catatan ketiga mengapa bisa selama itu. Butuh waktu hampir 12 tahun, dari tahun 1993 ke 2005 mengeluarkan HGU. Sehingga pertanyaan lain pun mencuat, jadi antara tahun 1993 sampai tahun 2005, apa dasar Foresta mengelola lahan tersebut. “ 12 tahun lama uh. Mun aku macam-macam, sua aku dicerai bini aku,’’ kelakar Fendi Haryono, Anggota Komisi III.

Permentan 98/2013, Plasma Wajib 20%

Terkait plasma 20 % , Destika Efenly menyampaikan memang di Permentan No 98 Tahun 2013, dibunyikan pihak perusahaan wajib memfasilitasi kebun plasma. ‘’ Itu wajib, dari luas areal yang mereka miliki. Misalnya, HGU mereka 10 ribu, artinya 2 ribu wajib difasilitasi. Kita harus bedakan antara CSR dengan Plasma. Mana CSR, mana Plasma. Cuma kita lihat lagi ketentuan lain, bahwa mereka ini keluar sebelum Permentan 98 ini. Pementan itu ada 2, nanti, “ ujarnya, belum selesai melanjutkan, dipotong oleh Suherman, Anggota Komisi III dengan mengatakan PP 26 tahun 2021 Petunjuk Pelaksanaan dari UU/ 2000. ‘’ Itu kalau izin mereka di atas tahun 2007. Kita bicara yang lama, tapi kalau dia memperpanjang nanti, baru mereka wajib memfasilitasi. Kita pilahkan,’’ tambah Destika.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *