Belitung Timur, belitongbetuah.com – DPRD Beltim adakan RDP (Rapat Dengar Pendapat), Selasa (24/01/2023) terkait tuntutan masyarakat agar 20 persen plasma PT Parit Sembada dan PT SWP, dibangun di desa mereka.
Hal itu seperti disampaikan oleh perwakilan masyarakat, BPD dan Kepala Desa Buding, Mayang dan Desa Air Kelik. Namun hasil RDP yang dihadiri pihak perusahaan dan OPD terkait itu, masih belum ada kejelasan.
Ketua DPRD Belitung Timur, Fezzi Uktolseja kepada awak media, usai RDP mengatakan, desa-desa menginginkan plasma 20 persen. Tapi selama ini, 20 persen plasma itu, di luar HGU perusahaan. Kendalanya masing-masing desa tersebut tidak tersedianya lahan.
Kemudian yang juga menjadi kendala, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian nomor 98 tahun 2013, yang mengatakan bahwa plasma boleh dilakukan di mana saja selagi masih di dalam lingkup kabupaten tempat perusahaan itu berusaha.
Selanjutnya ujar Fezzi, pada Permentan terbaru tahun 2022, menjelaskan apabila ada permasalahan terkait perihal tersebut maka akan diselesaikan oleh Bupati atau Pemerintah Daerah.
“Inikan sebenarnya pengambil keputusan Bupati, olah karena itu sesuai dengan peraturan, yang menyelesaikan Bupati. Kalau kami (DPRD) menampung, meminta kepada Bupati, juga merekomendasikan, panggil Direktur (Perusahaan),” kata Fezzi.
“ Seharusnya Direktur atau General Manager (GM) harus hadir jika sudah diundang oleh DPRD, agar lebih memudahkan dalam pengambilan keputusan,” tukasnya lagi.
Lebih lanjut ia sampaikan, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, perusahaan tetap menginginkan sesuai aturan. Maka dari itu, perusahaan akan mencari peraturan mana yang lebih menggampangkan mereka.
“Sekarang (masyarakat) nuntut 20 persen, kalau tadi di Buding 2.000 (hektar), tapi tidak ada (lahan) di Buding. Idealnya kalau masyarakat mau dari 2.000 itu dikurangi 400, kasih ke masyarakat, tapi tidak ada aturan itu, ya tidak mungkin lah perusahaan mau,” bebernya.
Sementara itu, dalam RDP yang sedang digelar, Wakil Ketua DPRD Beltim, Rohalba menyarankan agar BPD, Kepala Desa, Perusahaan dan Dinas terkait, untuk melaksanakan rapat bersama Bupati mengenai persoalan tersebut.
Hal itu ia kemukakan, lantaran pengambil kebijakan tertinggi untuk wilayah Kabupaten adalah Bupati. Sehingga, ketika Bupati telah mengambil kebijakan, dirinya meyakini pasti permasalahan yang berulang-ulang bisa selesai.
Namun, bila yang dihadirkan hanya perwakilan pemerintah, bukan Bupati langsung, bahasa yang sering keluar, “Nanti akan disampaikan kepada Bupati. Jadi buat apa kita ke Kementerian, kalau belum clear pada pengambilan kebijakan tertinggi,” tukasnya.
Ia menambahkan, kewenangan ini diberikan kepada Bupati ditingkat Kabupaten dan Gubernur di Provinsi. Harapannya, ketika Bupati sudah duduk bersama antara BPD, Kepala Desa, dan Perusahaan serta bersama Kementerian terkait, pasti permasalahan akan segera selesai.
“Pimpinannya mengambil kebijakan seperti itu, mau tidak mau harus menerima. Sepanjang tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia,” ujar Rohalba. (Arya)